Selasa, 30 Ramadhan 1437 / 5 Juli 2016
Waktu cepat sekali berlalu, tidak terasa, Ramadhan sudah hampir selesai..!
Aku bersyukur setiap tahun selalu merasakan Ramadhan yang istimewa. Setiap orang memiliki makna istimewanya sendiri, baik dalam hal suka cita atau pun duka cita. Istimewa ku, bersyukur, karena selalu diizinkan untuk bertemu dan merasakan suasana Ramadhan yang berbeda setiap tahunnya. Juga tantangan berat yang berbeda setiap tahunnya, hingga ku bisa memaknainya.
Ramadhan tahun lalu, dalam do’a i’tikaf ku memohon tuk bisa mencapai satu mimpi kecil ku, melanjutkan pedidikan tinggi, seperti Ayahku dan di tempat dimana Ayahku belajar. Alhamdulillah, kini ku merasakan Ramadhan dari kekuatan do’a yang selalu kupanjatkan. Tak pernah ku berhenti bersyukur dan terus berusaha tuk menjalani tantangan apapun dengan yang terbaik yang ku bisa.
Ramadhan ku di Edinburgh, Ibukota Skotlandia.
Tahun ini Ramadhan bertepatan dengan musim panas terpanjang di Inggris. Dimana waktu di siang hari lebih panjang di banding dengan malamnya. Bahkan malam pun tidak terlihat gelap, karna matahari tidak sepenuhnya tenggelam.
Semburat cahaya selalu terlihat diujung, walau di waktu malam yang tergelap pun karna matahari tidak sebenarnya tenggelam tuk Bumi bagian utara.
Terbayang betapa pendeknya waktu malam di sini, dan sudah terbayang juga waktu siangnya. Total 19 jam 30 menit waktu yang dijalankan untuk berpuasa. Terlihat sangat berat mendengar jumlah waktu yang banyak dan seperti akan terasa lama siang hari ketika menjalankannya. Asumsi itu pun sudah terngiang di kepala sebelum bulan Ramadhan tiba. “Wah berat siang hari berpuasa disini, dengan suhu udara yang dingin, apa Aku mampu? Aku tidak ingin sakit karna aku harus menyelesaikan tugas ku disini.” Pertanyaan itu pun selalu terlintas ketika akan menghadapi bulan Ramadhan. Seakan tak pernah percaya dengan kemampuan diri dan janji yang telah dituliskan dalam AlQur’an tentang batas beban seseorang yang tidak akan melebihi kemampuannya.
Hingga Ramadhan datang, seluruh asumsi itu pun terbukti salah. Bukan panjangnya waktu siang yang sulit tuk dihadapi, tapi justru pendeknya waktu malam yang menjadikannya tantangan terberat.
Berat, karna pikiran tentang siang dan waktu puasa yang panjang membuatku terasa lapar ketika berbuka. Membuatku ingin memakan makanan sebanyak yang aku bisa. Hingga perut terlalu sesak dan sulit bergerak. Padahal harus segera beranjak tuk bersiap sholat Tarawih, yang jarak masjidnya cukup jauh dari tempat tinggal ku. Ditambah dengan suhu udara dingin yang meningkat di waktu malam, tidak jarang juga dengan hujan yang datang. Jam 10.06 malam waktu berbuka, dalam waktu satu jam berbuka, harus segera bersiap berangkat, karna harus menunggu bis untuk menuju Central Mosque. Mengejar agar tidak terlambat berjamaah agar tiba tepat jam 11.36 malam waktu untuk Sholat Isya’ dan Tarawih. Masih dengan perut yang penuh, Tarawih dan Witir selesai mendekati pukul 1 pagi. Harus segera bergegas pulang, karna bis malam bisa sangat lama, atau harus berjalan cukup jauh sepanjang dua mil untuk sampai rumah ditambah dengan udara yang sangat dingin. Ketika sahur, tidak jarang perut Masih terasa penuh karna makanan di perut belum sepenuhnya terproses dalam waktu tiga jam. Kadang hanya bisa minum, makan pun hanya sedikit dan harus dipaksakan. Tidak jarang menyelesaikan Sahur dengan terburu-buru, karna harus selesai sebelum jam 2.22 pagi. Setiap malam di bulan Ramadhan menjadi tantangan tersendiri, terutama bila ingin menambah waktu ibadah bermunajat untuk qiyamulail atau ingin shalat Tahajud tidak bisa berlama-lama. Beratnya waktu yang amat singkat.
Istirahat tidur selalu sehabis selesai shalat Shubuh dan setelah itu beraktivitas seperti biasanya. Siang yang panjang pun menjadi pendek karena terpotong waktu tidur dan tidak terasa dengan aktivitas sehari-hari. Shalat Dzuhur biasa pukul 1.15 siang dan shalat Ashar biasa pukul 5.48 sore.
Sesungguhnya Ramadhan ku tidak terasa berat dan menyenangkan. Di awal Ramadhan, teman ku serumah, Muslimah dari Jerman, bernama Fatima, memberikan kejutan dekorasi Ramadhan Di rumah juga di kamarku.
Kami pun selalu berbuka bersama di rumah. Aku suka masakan buatannya dan dia pun suka masakan ku. Dia bilang “Indonesian food is tasty and flavourous”. Menurutnya, siapapun yang akan jadi suamiku nanti pasti akan beruntung. Padahal, masakanku gak sebanding dengan masakan Ibuku yang selalu ku rindu terutama bulan Ramadhan ini. Jauh dari keluarga dan tanpa masakan Ibu, itu pun menjadi tantangan terberat ku. Terutama ketika ku mendengar kabar bahwa Ibuku sempat sakit dan harus dirawat berhari-hari di rumah sakit. Hanya doa yang bisa kupanjat kan tuk kesembuhannya..
Selain kami berbuka dirumah, tidak jarang kami diundang ke acara buka bersama yang diadakan di rumah keluarga muslim di Edinburgh. Dari acara inilah bisa merasakan masakan khas ketika berbuka dari negara lain seperti Morroco, Libya, Egypt dan lainnya.
Terkadang kami juga berbuka di Masjid, karna makanan untuk berbuka pun selalu disediakan.
Total masjid di Edinburgh Dan sekitarnya ada 18. Tapi tidak semua masjid terlihat seperti bentuk masjid pada umurnya. Hanya Central Mosque yang dibangun berbentuk masjid dengan warna dinding coklat khas Edinburgh. Salah satu masjid favorit saya adalah Lauriston Place, Muslim Welfare House. Dimana sebelum menjadi masjid bangunan tua ini adalah gereja yang dibangun tahun 1874.
Selain berbuka bersama warga lokal, para pelajar Indonesia disini pun tetap menjaga kebersamaan dengan mengadakan buka bersama, masak bersama dan makan bersama.
Dengan menyiapkan makanan khas Indonesia karna rindu kami yang amat mendalam. Tempe, nasi uduk, kerupuk dan pecel yang terlihat remeh bila di Indonesia, di sini menjadi hal yang amat berharga dan tak ternilai harganya.
Pengalaman berharga lain yang kurasa, adalah ketika berbuka bersama dirumah warga lokal berkebangsaan Bangladesh. Sudah dua kali kami diundang berbuka dirumah nya. Kami pun ingin membalas kebaikan tuan rumah dengan membawa makanan khas dari masing-masing negara kami. Disini Aku bisa mengenalkan nasi goreng ayam Dan mie ayam jamur khas Indonesia. Selain itu Aku juga merasakan masakan khas Jerman dengan baked potato nya, Bangladesh dengan makanan manis nya. Tetapi yang membuatku merasa berbuka saat itu sangat istimewa adalah merasakan masakan khas Palestina “Makloba”, nasi kuning dengan sajian khas yang dibuat oleh sahabat ku dari kota kecil terkuat bernama GAZA. Selama kami makan bersama, dia selalu senang menjawab pertanyaan aneh kami tuk bercerita tentang keadaan Kota kecilnya. Walau mulutnya tersenyum bercerita, tapi ku tahu dari matanya terlihat sedih yang mendalam. Dulu Aku hanya mendengar cerita atau melihat berita tentang Gaza. Dulu nama Gaza selalu terdengar dan disebut ketika ku larut dalam doa Qunut shalat malam I’tikaf Akbar di Masjid Sunda Kelapa. Kini Aku duduk makan bersama satu meja, mendengar langsung kisahnya dan merasakan makanan khas buatan tangannya. Seperti saudara lama yang bertahun-tahun tidak pernah bertemu kemudian kami terasa sangat dekat dan saling bercerita.
Aku sangat bersyukur dengan berkah Ramadhan yang Kau berikan di tahun ini..
Doa ku hanya.. Izinkanlah Aku bertemu dengan Ramadhan Mu yang Akan datang dan bisa merasakan berkah Mu yang luar biasa dan tak pernah terduga..
Amiiin…