dintanputri

My thoughts about humankinds, arts, and culture


Tinggalkan komentar

Ramadhan 1437/2016 di Edinburgh

Selasa, 30 Ramadhan 1437 / 5 Juli 2016

Waktu cepat sekali berlalu, tidak terasa, Ramadhan sudah hampir selesai..! 

Aku bersyukur setiap tahun selalu merasakan Ramadhan yang istimewa. Setiap orang memiliki makna istimewanya sendiri, baik dalam hal suka cita atau pun duka cita. Istimewa ku, bersyukur, karena selalu diizinkan untuk bertemu dan merasakan suasana Ramadhan yang berbeda setiap tahunnya. Juga tantangan berat yang berbeda setiap tahunnya, hingga ku bisa memaknainya.

Ramadhan tahun lalu, dalam do’a i’tikaf ku memohon tuk bisa mencapai satu mimpi kecil ku, melanjutkan pedidikan tinggi, seperti Ayahku dan di tempat dimana Ayahku belajar. Alhamdulillah, kini ku merasakan Ramadhan dari kekuatan do’a yang selalu kupanjatkan. Tak pernah ku berhenti bersyukur dan terus berusaha tuk menjalani tantangan apapun dengan yang terbaik yang ku bisa.

Ramadhan ku di Edinburgh, Ibukota Skotlandia.

Tahun ini Ramadhan bertepatan dengan musim panas terpanjang di Inggris. Dimana waktu di siang hari lebih panjang di banding dengan malamnya. Bahkan malam pun tidak terlihat gelap, karna matahari tidak sepenuhnya tenggelam.


Semburat cahaya selalu terlihat diujung, walau di waktu malam yang tergelap pun karna matahari tidak sebenarnya tenggelam tuk Bumi bagian utara. 

Terbayang betapa pendeknya waktu malam di sini, dan sudah terbayang juga waktu siangnya. Total 19 jam 30 menit waktu yang dijalankan untuk berpuasa. Terlihat sangat berat mendengar jumlah waktu yang banyak dan seperti akan terasa lama siang hari ketika menjalankannya. Asumsi itu pun sudah terngiang di kepala sebelum bulan Ramadhan tiba. “Wah berat siang hari berpuasa disini, dengan suhu udara yang dingin, apa Aku mampu? Aku tidak ingin sakit karna aku harus menyelesaikan tugas ku disini.” Pertanyaan itu pun selalu terlintas ketika akan menghadapi bulan Ramadhan. Seakan tak pernah percaya dengan kemampuan diri dan janji yang telah dituliskan dalam AlQur’an tentang batas beban seseorang yang tidak akan melebihi kemampuannya.

Hingga Ramadhan datang, seluruh asumsi itu pun terbukti salah. Bukan panjangnya waktu siang yang sulit tuk dihadapi, tapi justru pendeknya waktu malam yang menjadikannya tantangan terberat. 

Berat, karna pikiran tentang siang dan waktu puasa yang panjang membuatku terasa lapar ketika berbuka. Membuatku ingin memakan makanan sebanyak yang aku bisa. Hingga perut terlalu sesak dan sulit bergerak. Padahal harus segera beranjak tuk bersiap sholat Tarawih, yang jarak masjidnya cukup jauh dari tempat tinggal ku. Ditambah dengan suhu udara dingin yang meningkat di waktu malam, tidak jarang juga dengan hujan yang datang. Jam 10.06 malam waktu berbuka, dalam waktu satu jam berbuka, harus segera bersiap berangkat, karna harus menunggu bis untuk menuju Central Mosque. Mengejar agar tidak terlambat berjamaah agar tiba tepat jam 11.36 malam waktu untuk Sholat Isya’ dan Tarawih. Masih dengan perut yang penuh, Tarawih dan Witir selesai mendekati pukul 1 pagi. Harus segera bergegas pulang, karna bis malam bisa sangat lama, atau harus berjalan cukup jauh sepanjang dua mil untuk sampai rumah ditambah dengan udara yang sangat dingin. Ketika sahur, tidak jarang perut Masih terasa penuh karna makanan di perut belum sepenuhnya terproses dalam waktu tiga jam. Kadang hanya bisa minum, makan pun hanya sedikit dan harus dipaksakan. Tidak jarang menyelesaikan Sahur dengan terburu-buru, karna harus selesai sebelum jam 2.22 pagi. Setiap malam di bulan Ramadhan menjadi tantangan tersendiri, terutama bila ingin menambah waktu ibadah bermunajat untuk qiyamulail atau ingin shalat Tahajud tidak bisa berlama-lama. Beratnya waktu yang amat singkat.

Istirahat tidur selalu sehabis selesai shalat Shubuh dan setelah itu beraktivitas seperti biasanya. Siang yang panjang pun menjadi pendek karena terpotong waktu tidur dan tidak terasa dengan aktivitas sehari-hari. Shalat Dzuhur biasa pukul 1.15 siang dan shalat Ashar biasa pukul 5.48 sore.

Sesungguhnya Ramadhan ku tidak terasa berat dan menyenangkan. Di awal Ramadhan, teman ku serumah, Muslimah dari Jerman, bernama Fatima, memberikan kejutan dekorasi Ramadhan Di rumah juga di kamarku.




Kami pun selalu berbuka bersama di rumah. Aku suka  masakan buatannya dan dia pun suka masakan ku. Dia bilang “Indonesian food is tasty and flavourous”. Menurutnya, siapapun yang akan jadi suamiku nanti pasti akan beruntung. Padahal, masakanku gak sebanding dengan masakan Ibuku yang selalu ku rindu terutama bulan Ramadhan ini. Jauh dari keluarga dan tanpa masakan Ibu, itu pun menjadi tantangan terberat ku. Terutama ketika ku mendengar kabar bahwa Ibuku sempat sakit dan harus dirawat berhari-hari di rumah sakit. Hanya doa yang bisa kupanjat kan tuk kesembuhannya..

Selain kami berbuka dirumah, tidak jarang kami diundang ke acara buka bersama yang diadakan di rumah keluarga muslim di Edinburgh. Dari acara inilah bisa merasakan masakan khas ketika berbuka dari negara lain seperti Morroco, Libya, Egypt dan lainnya.


Terkadang kami juga berbuka di Masjid, karna makanan untuk berbuka pun selalu disediakan. 


Total masjid di Edinburgh Dan sekitarnya ada 18. Tapi tidak semua masjid terlihat seperti bentuk masjid pada umurnya. Hanya Central Mosque yang dibangun berbentuk masjid dengan warna dinding coklat khas Edinburgh. Salah satu masjid favorit saya adalah Lauriston Place, Muslim Welfare House. Dimana sebelum menjadi masjid bangunan tua ini adalah gereja yang dibangun tahun 1874.



 

Selain berbuka bersama warga lokal, para pelajar Indonesia disini pun tetap menjaga kebersamaan dengan mengadakan buka bersama, masak bersama dan makan bersama. 

Dengan menyiapkan makanan khas Indonesia karna rindu kami yang amat mendalam. Tempe, nasi uduk, kerupuk dan pecel yang terlihat remeh bila di Indonesia, di sini menjadi hal yang amat berharga dan tak ternilai harganya.

Pengalaman berharga lain yang kurasa, adalah ketika berbuka bersama dirumah warga lokal berkebangsaan Bangladesh. Sudah dua kali kami diundang berbuka dirumah nya. Kami pun ingin membalas kebaikan tuan rumah dengan membawa makanan khas dari masing-masing negara kami. Disini Aku bisa mengenalkan nasi goreng ayam Dan mie ayam jamur khas Indonesia. Selain itu Aku juga merasakan masakan khas Jerman dengan baked potato nya, Bangladesh dengan makanan manis nya. Tetapi yang membuatku merasa berbuka saat itu sangat istimewa adalah merasakan masakan khas Palestina “Makloba”, nasi kuning dengan sajian khas yang dibuat oleh sahabat ku dari kota kecil terkuat bernama GAZA. Selama kami makan bersama, dia selalu senang menjawab pertanyaan aneh kami tuk bercerita tentang keadaan Kota kecilnya. Walau mulutnya tersenyum bercerita, tapi ku tahu dari matanya terlihat sedih yang mendalam. Dulu Aku hanya mendengar cerita atau melihat berita tentang Gaza. Dulu nama Gaza selalu terdengar dan disebut ketika ku larut dalam doa Qunut shalat malam I’tikaf Akbar di Masjid Sunda Kelapa. Kini Aku duduk makan bersama satu meja, mendengar langsung kisahnya dan merasakan makanan khas buatan tangannya. Seperti saudara lama yang bertahun-tahun tidak pernah bertemu kemudian kami terasa sangat dekat dan saling bercerita.


Ramadhan sudah hampir habis..

Aku sangat bersyukur dengan berkah Ramadhan yang Kau berikan di tahun ini..

Doa ku hanya.. Izinkanlah Aku bertemu dengan Ramadhan Mu yang Akan datang dan bisa merasakan berkah Mu yang luar biasa dan tak pernah terduga..

Amiiin…


Tinggalkan komentar

Kota Biru – Chefchouen (Morroco)


Akhirnya bisa datang ke kota favorite yang dulu hanya bisa kulihat di dunia maya. Kota Biru! 


Dulu sempat terucap apakah iya aku bisa kesana.. Dan seorang sahabat berkata “kamu pasti bisa kesana suatu hari nanti”..


Kamu tau ucapan seseorang bisa menjadi sebuah doa, tapi kamu takkan tau doa manakah yang akan dikabulkan oleh Nya.  Kini aq bisa merasakan kota kecil yang seluruh kotanya bernuansa Biru.. Warna kesukaan ku.. Kota ini sangat tenang dan damai.. Sangat terasa bila malam kan tiba..


Hingga ku bertemu dengan seorang seniman lokal pembuat cenderamata khas kota ini.. Namanya Kamal.. Melihat bajunya yang terkena banyak noda cat, mengingatkan ku di masalalu, ketika ku senang bermain dengan cat dan tak peduli betapa kotornya baju dan tangan ku. Yang kurasa hanya senang dan bebas.. Satu hal yang selalu ku rindu.. 


Cukup mudah menuju kota biru ini yang berada di Negara Morocco. Bila sampai di negara ini, langsung menuju kota Tanger di dekatnya, dan menuju kota biru yang disebut Kota Chefchouen dengan menggunakan bis lokal. Ingat paspor juga harus selalu dibawa!


Sampai jumpa kota biru, semoga aku bisa mengunjungi mu lagi..!

 


Tinggalkan komentar

Aku Menangis untuk Adikku 6 Kali

Cerita dibawah ini sangat menyentuh sekali.. Tidak tahu kenapa aq ingin sekali me-repost cerita ini, mungkin karna saat ini aq sedang bertengkar dengan adikku?? Hmmm.. Dia sering sekali membuat ku sedih.. tapi tak sesedih cerita ini..

———— ——— ——— —
Diterjemahkan dari : “I cried for my brother six times”.

 
Aku dilahirkan di sebuah dusun pegunungan yang sangat
terpencil. Hari demi hari, orang tuaku membajak tanah kering kuning dan punggung mereka menghadap ke langit. Aku mempunyai seorang adik, tiga tahun lebih muda dariku.

Suatu ketika, untuk membeli sebuah sapu tangan yang mana semua gadis di sekelilingku kelihatannya membawanya, Aku mencuri lima
puluh sen dari laci ayahku. Ayah segera menyadarinya. Beliau membuat
adikku dan aku berlutut di depan tembok, dengan sebuah tongkat bambu di tangannya. “Siapa yang mencuri uang itu?” Beliau bertanya. Aku terpaku, terlalu takut untuk berbicara. Ayah tidak mendengar siapa pun mengaku, jadi Beliau mengatakan, “Baiklah, kalau begitu, kalian berdua layak dipukul!” Dia mengangkat tongkat bambu itu tingi-tinggi. Tiba-tiba,  adikku mencengkeram tangannya dan berkata, “Ayah, aku yang melakukannya! ”

Tongkat panjang itu menghantam punggung adikku bertubi-tubi. Ayah begitu marahnya sehingga ia terus menerus mencambukinya
sampai Beliau kehabisan nafas. Sesudahnya, Beliau duduk di atas ranjang batu bata kami dan memarahi, “Kamu sudah belajar mencuri dari rumah sekarang, hal memalukan apa lagi yang akan kamu lakukan di masa mendatang? … Kamu layak dipukul sampai mati! Kamu pencuri tidak tahu malu!”

Malam itu, ibu dan aku memeluk adikku dalam pelukan kami. Tubuhnya penuh dengan luka, tetapi ia tidak menitikkan air mata
setetes pun. Di pertengahan malam itu, saya tiba-tiba mulai menangis
meraung-raung. Adikku menutup mulutku dengan tangan kecilnya dan
berkata, “Kak, jangan menangis lagi sekarang. Semuanya sudah terjadi.”

Aku masih selalu membenci diriku karena tidak memiliki cukup  keberanian untuk maju mengaku. Bertahun-tahun telah lewat, tapi
insiden tersebut masih kelihatan seperti baru kemarin. Aku tidak pernah akan lupa tampang adikku ketika ia melindungiku. Waktu itu, adikku berusia 8 tahun. Aku berusia 11.

Ketika adikku berada pada tahun terakhirnya di SMP, ia lulus untuk masuk ke SMA di pusat kabupaten. Pada saat yang sama, saya
diterima untuk masuk ke sebuah universitas propinsi. Malam itu, ayah
berjongkok di halaman, menghisap rokok tembakaunya, bungkus demi
bungkus. Saya mendengarnya memberengut, “Kedua anak kita memberikan hasil yang begitu baik…hasil yang begitu baik…” Ibu mengusap air matanya yang mengalir dan menghela nafas, “Apa gunanya? Bagaimana mungkin kita bisa membiayai keduanya sekaligus?”

Saat itu juga, adikku berjalan  keluar ke hadapan ayah
dan berkata, “Ayah, saya tidak mau melanjutkan sekolah lagi, telah
cukup  membaca banyak buku.” Ayah mengayunkan tangannya dan memukul adikku pada wajahnya. “Mengapa kau mempunyai jiwa yang begitu keparat lemahnya? Bahkan jika berarti saya mesti mengemis di jalanan saya akan menyekolahkan kamu berdua sampai selesai!” Dan begitu kemudian ia mengetuk setiap rumah di dusun itu untuk meminjam uang. Aku menjulurkan tanganku selembut yang aku bisa ke muka adikku yang membengkak, dan berkata, “Seorang anak laki-laki harus meneruskan sekolahnya; kalau tidak ia tidak akan pernah meninggalkan jurang kemiskinan ini.” Aku, sebaliknya, telah memutuskan untuk tidak lagi meneruskan ke universitas.

Siapa sangka keesokan harinya, sebelum  subuh datang, adikku meninggalkan rumah dengan beberapa helai pakaian lusuh dan sedikit
kacang yang sudah mengering. Dia menyelinap ke samping ranjangku dan meninggalkan secarik kertas di atas bantalku: “Kak, masuk ke  universitas tidaklah mudah. Saya akan pergi mencari kerja dan mengirimu uang.”

Aku memegang kertas tersebut di atas tempat tidurku, dan menangis dengan air mata bercucuran sampai suaraku hilang. Tahun itu, adikku berusia 17 tahun. Aku 20.

Dengan uang yang ayahku pinjam dari seluruh dusun, dan uang yang adikku hasilkan dari mengangkut semen pada punggungnya di
lokasi konstruksi, aku akhirnya sampai ke tahun ketiga (di universitas) . Suatu hari, aku sedang belajar di kamarku, ketika teman sekamarku
masuk dan memberitahukan, “Ada seorang penduduk dusun menunggumu di luar sana!”

Mengapa ada seorang penduduk  dusun mencariku? Aku berjalan keluar, dan melihat adikku dari jauh, seluruh badannya kotor tertutup debu semen dan pasir. Aku menanyakannya, “Mengapa kamu tidak bilang pada teman sekamarku kamu adalah adikku?” Dia menjawab,
tersenyum, “Lihat bagaimana penampilanku.  Apa yang akan mereka pikir jika mereka tahu saya adalah adikmu? Apa mereka tidak akan menertawakanmu? ”

Aku merasa terenyuh, dan air mata memenuhi mataku. Aku menyapu debu-debu dari adikku semuanya, dan tersekat-sekat dalam kata-kataku, “Aku tidak perduli omongan siapa pun! Kamu adalah adikku apa pun juga! Kamu adalah adikku bagaimana pun penampilanmu. ..”

Dari sakunya, ia mengeluarkan sebuah jepit rambut berbentuk kupu-kupu. Ia memakaikannya kepadaku, dan terus menjelaskan, “Saya melihat semua gadis kota memakainya. Jadi saya pikir kamu juga harus memiliki satu.”Aku tidak dapat menahan diri lebih lama lagi. Aku
menarik adikku ke dalam pelukanku dan menangis dan menangis. Tahun itu, ia berusia 20. Aku 23.

Kali pertama aku membawa pacarku ke rumah, kaca jendela yang pecah telah diganti, dan kelihatan bersih di mana-mana. Setelah pacarku pulang, aku menari seperti gadis  kecil di depan ibuku. “Bu, ibu
tidak perlu menghabiskan begitu banyak waktu untuk membersihkan
rumah kita!” Tetapi katanya, sambil tersenyum, “Itu adalah adikmu yang pulang awal untuk membersihkan rumah ini. Tidakkah kamu melihat luka pada tangannya? Ia terluka ketika memasang kaca jendela baru itu..”

Aku masuk ke dalam ruangan kecil adikku. Melihat mukanya yang kurus, seratus jarum terasa menusukku. Aku mengoleskan
sedikit saleb pada lukanya dan mebalut lukanya. “Apakah itu sakit?” Aku menanyakannya. “Tidak, tidak sakit. Kamu tahu, ketika saya bekerja di lokasi konstruksi, batu-batu berjatuhan pada kakiku setiap
waktu. Bahkan itu tidak menghentikanku bekerja dan…” Ditengah kalimat itu ia berhenti. Aku membalikkan tubuhku memunggunginya, dan air mata mengalir deras turun ke wajahku. Tahun itu, adikku 23. Aku berusia 26.

Ketika aku menikah, aku tinggal di kota. Banyak  kali suamiku dan aku
mengundang orang tuaku untuk datang dan tinggal bersama kami, tetapi mereka tidak pernah mau. Mereka mengatakan, sekali
meninggalkan dusun, mereka tidak akan tahu harus mengerjakan apa. Adikku tidak setuju juga, mengatakan, “Kak, jagalah mertuamu aja. Saya akan menjaga ibu dan ayah di sini.”

Suamiku menjadi direktur pabriknya. Kami menginginkan adikku mendapatkan pekerjaan sebagai manajer pada departemen pemeliharaan. Tetapi adikku menolak tawaran tersebut. Ia bersikeras memulai bekerja sebagai pekerja reparasi.

Suatu hari, adikku diatas sebuah tangga untuk memperbaiki sebuah kabel, ketika ia mendapat sengatan listrik, dan masuk rumah
sakit. Suamiku dan aku pergi menjenguknya. Melihat gips putih pada
kakinya, saya menggerutu, “Mengapa  kamu menolak menjadi manajer? Manajer tidak akan pernah harus melakukan sesuatu yang berbahaya seperti ini.  Lihat kamu sekarang, luka yang begitu serius. Mengapa kamu tidak mau mendengar kami sebelumnya?”

Dengan tampang yang serius pada wajahnya, ia membela keputusannya. “Pikirkan kakak ipar–ia baru saja jadi direktur, dan saya hampir tidak berpendidikan. Jika saya menjadi manajer seperti itu, berita seperti apa yang akan dikirimkan?”

Mata suamiku dipenuhi air mata, dan kemudian keluar kata-kataku yang sepatah-sepatah: “Tapi kamu kurang pendidikan juga karena aku!”

“Mengapa membicarakan masa lalu?” Adikku menggenggam tanganku. Tahun itu, ia berusia 26 dan aku 29.

Adikku kemudian berusia 30 ketika ia menikahi seorang gadis petani dari dusun itu. Dalam acara pernikahannya, pembawa acara perayaan itu bertanya kepadanya, “Siapa yang paling kamu hormati dan kasihi?” Tanpa bahkan berpikir ia menjawab, “Kakakku.”

Ia melanjutkan dengan menceritakan kembali sebuah kisah  yang bahkan tidak dapat kuingat. “Ketika saya pergi sekolah SD, ia berada pada dusun yang berbeda. Setiap hari kakakku dan saya berjalan selama dua jam untuk pergi ke sekolah dan pulang ke rumah. Suatu hari, Saya kehilangan satu dari sarung tanganku. Kakakku memberikan satu dari kepunyaannya. Ia hanya memakai satu saja dan berjalan sejauh itu.
Ketika kami tiba di rumah, tangannya begitu gemetaran karena cuaca yang begitu dingin sampai ia tidak dapat memegang sumpitnya. Sejak hari itu, saya  bersumpah, selama saya masih hidup, saya akan menjaga kakakku dan baik kepadanya.”

Tepuk tangan membanjiri ruangan itu. Semua tamu memalingkan perhatiannya kepadaku.

Kata-kata begitu susah kuucapkan keluar bibirku, “Dalam hidupku, orang yang paling aku berterima kasih adalah adikku.” Dan dalam kesempatan yang paling berbahagia ini, di depan kerumunan perayaan ini, air  mata bercucuran turun dari wajahku seperti sungai.


Tinggalkan komentar

Terima kasih…

Entah dimana pemilik sajadah itu..
Cerita ini berawal ketika saya beri’tikaf di Masjid Agung Sunda Kelapa, setelah Ashar saya putuskan untuk menunggu adzan Maghrib sambil membaca Al-Quran dgn tafsirnya yang ingin saya selesaikan hingga Ramadhan ini usai sebagai hadiah tuk diri sendiri.. 10 menit sebelum adzan Maghrib, makanan pun sudah dibagikan kepada seluruh jamaah di Masjid. Wah Alhamdulillah saya tidak perlu keluar meninggalkan masjid mencari buka, dan saya pun bisa meneruskan membaca AlQuran, sempat melihat beberapa jamaah sudah menyiapkan minuman hangat. Ada rasa ingin membeli minuman hangat juga, tapi saya masih ingin terus membaca Al Quran, tapi tiba-tiba seorang nenek, dengan mukena yang sedikit lusuh sambil membawa beberapa kantong plastik kecil bubur kacang hijau menawarkan kepada saya “Mau ini gak? Mau ini gak?” Saya dengan senang hati menerimanya, alhamdulillah dapat yang hangat, saya balas “terima kasih banyaak” dalam hati ini, semoga berkah ya nek.. Dan sang nenek menaruhnya diatas kotak nasi box saya. Setelah itu sang nenek duduk tepat didepan saya diatas sajadahnya dan menaruh beberapa plastik bubur itu di kotak-kotak nasi disebelahnya. Tidak lama nenek itu bangun dan pergi, seperti ingin mengambil sesuatu lagi atau ingin berwudhu pikir saya. Hingga Adzan magrib berkumandang Nenek itu belum kembali. Saya menunggu karna masih ingin mengucapkan terima kasih.. hingga Adzan Isya nenek pun belum kembali sajadah itu masih terbentang..saya menunggu hingga Shalat Malam, nenek masih belum datang.. saya sempat bertanya tidak ada yg tau sajadah itu milik siapa..hingga adzan Subuh.. nenek pun belum datang.. saya masih menunggunya hingga waktu dhuha.. nenek belum juga datang.. hingga saya menuliskan ini dan memfoto sajadah nenek yang ada didepan saya.. nenek belum juga datang.. dimanapun Nenek berada.. saya hanya ingin berterima kasih tuk bubur kacang hijau hangat yang sangat saya nikmati ketika berbuka..semoga selalu menjadi berkah tuk Nenek.. Jazakumullah khoiron katsiro… :’)

1084993_10201915064185219_1756520971_o

nb: Hingga hari terakhir saya di Masjid Sunda Kelapa..malam terakhir Ramadhan dan sebelum Ied Fitri..Saya pun belum bertemu dengan nenek..


Tinggalkan komentar

Cerita di Hari Minggu

Ada apa di hari minggu?? Hari minggu kali ini sangat berbeda dengan hari-hari minggu yang biasa saya jalani. Meski setiap minggu saya selalu mendapat pengalaman yang berbeda, tapi kali ini benar-benar pengalaman yang membuat saya merenung dan terpana..sampai saya pun memutuskan untuk menuliskannya. Karna jujur saja saya jarang ingin menulis dan memperlihatkan pengalaman-pengalaman kehidupan ini. Tapi atas saran sahabat, saya pun menulis ini dari sudut pandang saya dan dengan cara saya bercerita…

Setiap hari minggu saya berlatih bermain cello bersama teman-teman di sebuah taman yang terletak di Ring 1 di pusat kota. Setiap minggu memang taman ini selalu ramai dengan orang-orang dari berbagai kalangan dan berbagai usia. Dari yang berlatih musik klasik, melukis, menggambar, hunting fotografi, berjualan, berkumpul ataupun hanya ingin berjalan-jalan mencari kesegaran rindangnya ruang terbuka hijau di tengah kota..

Sore itu suasana di taman sangat ramai. Banyak anak kecil juga yang berlarian kesana-kemari, bercanda riang dengan orangtuanya, anak-anak kecil dengan pakaian yang lucu dan menggemaskan, yang menurut saya hal itu sudah lumrah bila berada di tamannya Ring 1 di pusat kota ini, jadi ya tidak ada yang aneh. Tapi ditengah latihan cello saya, ada anak kecil, laki-laki, kisaran umur dua tahun yang dapat mencuri perhatian saya, hingga saya menghentikan latihan saya sejenak. Anak itu tidak berpakaian bagus, labih terlihat kumal sehingga mengurangi kesan menggemaskan. Walaubagaimanapun anak itu tetap lucu bagi saya dengan muka polos khas anak kecil. Pandangan saya pun terus tertuju pada anak itu… Dia berlari kesana kemari diatas luasnya rerumputan hijau dengan sangaat riang sambil menarik sebuah karung putih berisi botol plastik bekas milik ayahnya, seakan karung itu mainan mobil-mobilan yang berharga baginya. Sang ayah pun hanya tersenyum melihat dari jauh menyaksikan kesenangan anaknya itu, sambil bersabar untuk sementara tidak bisa mengambil botol-botol plastik bekas yang berserakan dimana-mana di taman yang dibuang begitu saja oleh orang-orang tidak bertanggung jawab yang ikut meramaikan suasana taman.

Dalam hati saya…waaah anak itu, terlihat sangat bahagiaa…riang, tertawa lepas, berlari-lari dengan ringan dan lincahnya. Moment yang bagus sekali untuk diabadikan dalam bingkai foto, anak yang merasa sangat bahagia dengan ‘mainannya’ itu. Tapi sayang, para fotografer yang membawa kamera-kamera mahal dengan lensa terbaik saat itu tidak ada yang melihat moment itu. Saya pun memutuskan untuk mengabadikannya dengan kamera di handphone saya..tepat ketika saya ingin mengambil gambar ketika anak itu berlari ke ayahnya..ketika dia bercanda tawa dengan sang ayah, tiba-tiba anak itu berlari kearah saya..saya pun terkejut, tapi ternyata anak itu berlari pada tukang penjual balon yang ada didepan saya. Anak itu tertawa-tawa sambil menunjuk-nunjuk balon-balon yang berwarna-warni itu. Balon itu termasuk balon yang bagus, besar, bergagang plastik, sehingga mudah untuk dipegang dan dibawa kemana-mana untuk anak-anak.

Tidak lama anak itu tertawa girang setelah melihat balon, dia berlari dengan cepat sambil tertawa menuju ayahnya. Lalu, sambil tertawa pula ia menunjukkan balon itu pada ayahnya.. Dan ia berlari lagi menuju tukang balon itu. Sang ayah yang mencoba memahami anaknya yang belum bisa berbicara lancar itu, tersenyum sambil mengatakan “oh..itu baloon”.

Saya dalam hati ingin sekali membelikan balon itu untuk anak kecil itu. Rasanya ingin sekali membuat anak itu bertambah bahagia. Karna sempat terlintas dalam pikiran, “apa iya Ayah anak itu mau membelikan balon itu? Membelikan makanan sebagai hal yang pokok saja sepertinya sangat susah payah”. Akhirnya saya putuskan untuk mendekat dan ingin menawarkan diri untuk membelikan balon itu untuk si anak, tepat ketika sang ayah menanyakan harga balon itu. Tapi saat itu juga keinginan besar saya langsung terpatahkan ketika si penjual balon memberikan balon itu dengan cuma-cuma. Walau sedikit tidak rela, tapi dalam hati saya berkata, “waah ternyata baik sekali abang penjual balon itu, barang dagangannya diberikan begitu saja, padahal dia pun hanya mendapatkan pemasukan dari berjualan balon saja”. Jujur saya terkejut, dan tidak ada yang bisa menduga isi hati orang. Ternyata masih ada orang baik dimanapun disekitar kita, bila memang kita tulus apa-adanya…

Saya merasa ikut bahagia melihat anak kecil itu tertawa lepas sangat bahagia, dan wajah sang ayah yang juga ikut bahagia melihat anaknya tertawa riang. Setelah berterima kasih, sang ayah yang membawa karung putih itu berjalan bergandengan dengan si anak yang terus tersenyum, berceloteh dan tertawa sambil memegang erat balon ungu ditangannya seakan tak ingin dilepasnya dan ingin terus dijaga… Hhmmm senangnya anak itu merasakan saat-saat masa kecil yang bahagiaa…

Akhirnya saya melanjutkan latihan saya, tapi tiba-tiba saya terkejut karna ada suara balon yang pecah! Seketika saya langsung menoleh pada anak kecil tadi bersama sang ayah. Anak itu saya lihat masih memegang batang balon itu dengan eratnya sambil terus berceloteh dan tertawa riang. Saya pun merasa tenang kembali. Ternyata suara balon pecah itu dari anak kecil lain yang lucu, juga baru membeli balon yang sama, tetapi dipecahkannya balon itu begitu saja karna terkena duri direrumputan, sambil melihat ke arah kedua orangtuanya, mungkin takut dimarahi atau ingin melihat perhatian apa yang akan diberikan. Ternyata ketika dilihat, ayahnya sedang sibuk berbicara dengan handphone ditangannya, dan ibunya sedang asyik ngobrol dengan ibu-ibu yang lain. Merasa dirinya aman, dan melihat tidak ada reaksi apa-apa dari kedua orang tuanya, setelah itu ditinggalkannya pecahan balon itu sambill berlari-lari…

Hanya sempat mengambil moment ini..

Hanya sempat mengambil moment ini..

 

-Intan-

14 Nov 2010


Tinggalkan komentar

KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA dan PERMASALAHANNYA

Manusia Sebagai Makhluk Sosial dan Budaya

Di dalam kehidupan sosial dan budaya terdapat manusia yang sebagai mahluk individu sekaligus sosial dan budaya tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya, karena merupakan satu kesatuan utuh dalam diri manusia. Tidak mungkin manusia secara individu berkembang tanpa ada lingkungan atau tempat untuk berkembang dan berinteraksi. Dan manusia sejak lahir sampai mati selalu hidup dalam masyarakat, tidak ada yang di luar masyarakat.

Dimanapun manusia berada, ia adalah makhluk sosial dan budaya yang mempunyai akal pikiran. Sehingga dalam lingkup yang luas, manusia atau masyarakat akan mempunyai kebudayaan yang beragam karena mereka berpipkir atau mengalami proses belajar dalam berinteraksi dan menyesuiakan diri dengan lingkungan dan kebutuhannya masing-masing.

Tetapi dalam kehidupan atau hidup bermasyarakat tidak selamanya berlangsung dengan normal, melainkan kadang-kadang mengalami goncangan, terutama karena adanya perubahan-perubahan, bahkan kadang-kadang apa yang menjadi tujuan tidak sesuai dengan kenyataan yang timbul. Oleh karena masyarakat itu selalu berubah, maka tidak mustahil ia akan diikuti gejala-gejala tertentu yang dapat menyebabkan masyarakat tidak berfungsi sebagai mana mestinya dan timbullah berbagai permasalahan dalam kehidupan sosial dan budaya di masyarakat.

Masalah-masalah Sosial dan Budaya

Dengan adanya perubahan-perubahan atau perkembangan masyarakat, akan memerlukan penyesuaian-penyesuaian dan penilaian-penilaian kembali, baik tentang latar belakang terjadinya masalah-masalah, ataupun tentang bagaimana pemecahan masalah-masalah sosial dan budaya itu sendiri.

Masalah-masalah sosial dan budaya pada dasarnya disebabkan oleh adanya gangguan atau goncangan yang menyangkut ketidakseimbangan antara interpretasi tentang nilai-nilai sosial, budaya dan moral (Abdulsyani, 1987). Jika nilai-nilai atau unsur-unsur kebudayaan berubah, dimana anggota-anggota masyarakat merasa terganggu, maka timbullah gejala-gejalayang menjadi masalah bagi anggota kelompok masyarakat tersebut.

Masalah sosial yang bersumber dari faktor kebudayaan biasanya yang paling menonjol bagi kehidupan manusia dalam masyarakat, juga ketika manusia tidak mampu untuk menyesuaikan diri dengan perkembangan kebudayaan. Menurut Daldjuni (1985), bahwa masalah sosial dapat bertalian dengan masalah alami ataupun masalah pribadi, ditinjau dari seluruh permasalahan, ternyata maasalah sosial memiliki empat penyebab, yaitu :

  1. Faktor alam, menyangkut gejala menipisnya sumberdaya alam, dapat pula oleh semakin banyaknya jumlah penduduk yang menipiskan persediaan sumberdaya alam.
  2. Faktor biologis (dalam arti kependudukan), menyangkut bertambahnya manusia dengan pesat yang dirasakan secara nasional, regional ataupun local.
  3. Faktor kebudayaan, pendorongnya adalah perkembangan teknologi dan penetrasi kabudayaan.
  4. Faktor sosial, dalam berbagai interaksi masyarakat dan berbagai kebijakan ekonomi dan politik yang dikendalikan oleh masyarakat (Abdulsyani, 1987).

Dalam permasalahan kehidupan sosial dan budaya, masalah sosial dalam hal kemiskinan adalah yang paling menonjol pada kehidupan bermasyarakat ini. Kemiskinan banyak ditakuti manusia, dan oleh karena ketakutannya maka manusia akan berlomba mencari penagkalnya, yaitu faktor ekonomi, dengan berbagai caradilakukan manusia apapun jalannya. Hampir setiap individu akan mengatakan keluhannya, dan ketika keluhan tersebut menjaadi kenyataan, maka kemiskinanlah yang menjadi gejala-gejala penderitaan. Dengan demikian kemiskinan merupakan suatu masalah sosial yang perlu mendapatkan perhatian serius, jika masyarakat dan Negara masih menginginkan kesejahteraan, ketentraman dan keamanan. atau adakah faktor lain dibalik faktor kemiskinan yang membuat faktor ini menjadi kuat?